PARLEMEN INDONESIA UPAYAKAN RATIFIKASI STATUTA ROMA
18-02-2009 /
B.K.S.A.P.
Pada Agustus 2006, perwakilan Parlemen Indonesia berpartisipasi dalam konferensi regional dengan seluruh parlemen asia tentang Mahkamah Pidana Internasional dan berjanji akan bekerja untuk mengupayakan ratifikasi atau aksesi pada tahun 2008 atau lebih cepat. Tahun 2007 telah didirikan pula Parliamentarian for Global Action (PGA) Indonesia chapters, dimana Sekretariat Internasional PGA selama ini sangat aktif mendukung universalitas Mahkamah Pidana Internasional.
Demikian terungkap dalam Diskusi yang dibuka Koordinator PGA Indonesia Chapter Theo L. Sambuaga, Selasa (17/2), di gedung DPR RI, Jakarta
Mahkamah Pidana Internasional (Internasional Criminal Court-ICC) didirikan berdasarkan statuta Roma yang diadopsi pada tanggal 17 Juli 1998 oleh 120 negara yang berpartisipasi dalam “United Nations Diplomatic Conference on Plenipotentiaries on the Establishment of an International Criminal Court†dikota Roma.
Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional mengatur kewenangan untuk mengadili kejahatan paling serius yang mendapatkan perhatian internasional. Kejahatan tersebut yang dimaksud terdiri dari empat jenis, yaitu kejahatan genosida (the crime of genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan agresi (the crime of aggression).
Berbeda dengan mahkamah internasional sebelumnya yang sifatnya ad hoc, seperti International Criminal Tribunal Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal of Rwanda (ICTR). Mahkamah Pidana Internasional merupakan pengadilan yang permanent (Pasal 3(1) Statuta Roma). Mahkamah ini hanya berlaku bagi kejahatan yang terjadi setelah statuta Roma berlaku (Pasal 24 Statuta Roma).
Mahkamah Pidana Internasional merupakan mahkamah yang independent dan bukan merupakan badan dari PBB karena dibentuk berdasarkan perjanjuan multilateral, meskipun dalam beberapa kondisi tertentu ada relasi peran antara Mahkamah dengan PBB (Pasal 2 Statuta Roma).
Statuta Roma memuat banyak pengaman yang menjamin penyelidikan dan penuntutan hanya dilakukan untuk kepentingan keadilan, bukan kepentingan politik. Meskipun Dewan Keamanan PBB dan Negara dapat merujuk kepada Jaksa Penuntut Mahkamah Pidana Internasional. Keputusan untuk melaksanakan penyelidikan merupakan wewenang Jaksa Penuntut. Namun, Jaksa Penuntut tidak akan bergantung pada Dewan keamanan PBB atau rujukan Negara saja, tetapi juga akan mendasarkan penyelidikannya berdasarkan informasi dari berbagai sumber. Jaksa Penuntut harus meminta kewenangan dari Pre-Trial Chamber baik untuk melakukan penyelidikan maupun penuntutan dan permintaan tersebut dapat digugat oleh Negara.
Peran Indonesia
Dalam proses pengadopsian Statuta Roma, Indonseia terlibat secara aktif dengan menirimkan delegasi untuk mengikuti konferensi diplomatik di Roma pada bulan Juli 1998, ketika Statuta Roma itu disahkan. Pada saat bersejarah itu, Indonesia menyatakan dukungannya atas pengesahan Statute Roma dan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional. Indonesia juga menyatakan niatnya untuk meratifikasi Statuta Roma.
Tahun 1999, Indonesia menyampaikan pernyataan positif kepada komite ke-6 majelis umum pbb dalam pandangannya mengenai statuta roma. Indonesia menyatakan bahwa “partisipasi universal harus menjadi unjung tombak ICC†dan bahwa “pengadilan menjadi bentuk hasil kerjasama seluruh bansa tanpa memandang perbedaan politik, ekonomi, sosial dan budayaâ€. Dalam pernyataan yang sama, Indonesia menyatakan bahwa Statuta Roma menambah arti penting pada nilai-nilai yang terkandung dalam piaga PBB yang meliputi persepakatan, imparsialitas, non-diskriminasi, kedaulan Negara dan kesatuan wilayah. Dalam hal ini, Indonesia menegaskan bahwa mahkamah berusaha untuk melengkapi dan bukan menggantikan mekanisme hukum nasional.
Pada tahun 2004, Presiden Megawati Sukarno Puteri mengesahkan rencana akhis nasional tentang hak-hak asasi manusia (RANHAM) 2004-2009. rancangan tersebut menyatakan bahwa Indonesia bermaksud meratifikasi statute roma pada tahun 2008. untuk melaksanakan prancangan tersebut, presiden membentuk sebuah komite nasional. Dalam beberapa kesempatan, Pemerintah juga menyatakan bahwa Statute Roma sedang dipelajari dan bahwa legislasi nasional perlu perlu dibuat demi keperluan kerjasama dengan mahkamah sebelum ratifikasi dilaksanakan.
Dirjen HAM Departemen Hukum dan Ham Harkristuti Harkrisnowo menegaskan dengan diratifikasinya Statuta Roma akan menambah dan memperkuat hukum formal Indonesia. (as)